Entah ini rasa kehilangan atau rasa
benci. Tapi aku tak akan malu mengakuinya apapun ini. Merasa dekat dengan teman
kemudian ditinggalkan begitu saja sangatlah menyakitkan. Walaupun banyak teman
selain mereka, tapi aku tak bisa diam jika melihat mereka bersama tanpa aku.
Bukan hakku memang untuk melarang mereka. Hingga akhirnya meluapkan emosi
dengan berkata sesukaku yang bisa aku lakukan. Aku bukan orang yang
ditinggalkan lalu aku akan sendiri selamanya. Sekarang pun aku sebernarya
mempunyai banyak teman. Tapi seperti yang ku katakan, aku tak bisa melihat
mereka bersama tanpa aku.
Menyakitkan
memang. Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya. Aku mempunyai sahabat yang
menyayangiku begitupula aku juga menyayangi mereka. Ini pertama kalinya aku
mengira aku akan mendapatkan sahabat seperti sahabat-sahabatku yang sekarang
kami telah terpisah. Aku salah. Sebuah hal yang aku kira adalah emas ternyata
hanya besi berkarat. Aku tak mampu menahan emosi. Selalu saja ku ungkapkan
dengan sindiran – sindiran yang tak berdampak pada keadaan. Menemukan
sekumpulan orang yang aku kira baik ternyata tak ada rasa peka dan keinginan
untuk memikirkan perasaan orang lain.
Bermotto
‘biarlah orang berkata apa’. Menurutnya mungkin itu baik. Padahal arti
sebernarnya adalah dia menganggap remeh perkataan orang-orang tentangnya. Tak
punya rasa malu karena dia bukan seseorang yang mau mendengarkan kritik.
Jadilah burukpun berarti dia tetap merasa dirinya ayng paling ampuh.
Sebuah hati
yang terluka kemudian terbalut dan akhirnya terluka lagi ini tak mampu lagi
menerima keadaan. Semacam menjadi seseorang yang tersisihkan, terbuang,
tergeletak. Maaf yang diucapkan ternyata hanya kecerdasan mulut busuk. Bukan
lagi rasa simpati, yang ada rasa dengki. Menjadi orang yang mereka dekati
ketika ada hal yang penting bukan hal yang mudah. Merelakan, mengikhlaskan diri
untuk menjadi demikian sangatlah sulit.
Dulu kita
dekat sekali. Bahkan, sampai orang menggunakan namaku untuk mendekatimu. Karena
apa? Ketika aku bertanya pada orang itu “Mengapa kau menggunakan namaku?” orang
itu kemudian menjawab “Karena aku tau kamu yang paling dekat dengannya”. Bagai
menemukan emas yang ternyata adalah besi berkarat.
Usai sudah.
Tak ada lagi rasa simpatiku. Tak ada lagi rasa peduliku. Dan tak ada lagi
kepercayaan untuk benar-benar mengakui mereka sebagai TEMAN.